Menatap Imam Syafi’ie di Taman Puisinya

Menatap Imam Syafi’ie di Taman Puisinya

Oleh Maghfur M. Ramin

Ilmu wajib dipelihara sebagaimana manusia menjaga darah dan kehoramatan dirinya.

Menatap Imam Syafi’ie di taman puisinya laksana “Menyelam sambil  minum air”. Begitu dalam amanat puisi-puisinya. Gubahan-gubahannya mampu menggugah perasaan. Selain ia dikenal sebagai faqih, ia adalah pujangga besar yang muatan puisinya mengenjewantahkan kobaran jiwa hero sejatinya. Spirit memburu ilmu agung yang kemudian tampak di taman puisinya. Dalam hal ini, ia merupakan sosok yang tampil dengan bentuk puisi klasik. Di taman puisi yang terbentang luas, kita bisa menatap keluasan jiwanya seleluasa mungkin. Sastrawan faqih ini penuh ghirah juang keilmuan. Penyair yang selamat. Penyair terpuji. Sayyid Qutub mengungkapkan, bahwa dengan keindahan puisi, penyair harus mampu mengarahkan akal dan hati pada taman suci-Nya.

Puisi-puisinya adalah taman kepribadian ranum nan elok. Ia berpribadi luhur dan berpuisi sarat hikmah yang menjadi interpretasi dirinya. Pecinta sejati. Cinta ilmu. pengembara ilmu yang tak pernah mengenal kata lelah. Di antara puisinya: Al-ilmu shaidun wa al-kitaabatu qaiduhu # qayyid shuyûduka bi al-habâli al-wâtsiqah (Ilmu laksana binatang liar, mencatat adalah pengikatnya # ikatlah hewan buruanmu dengan tali kuat).

sumber ilustrasi: ca-se-bo.blogspot.com

Kecintaan Imam Syafi’ie pada ilmu adalah cinta yang tak beralasan. “Cinta sejati tak butuh alasan”, demikian Sujewo Tejo menegaskannya. Puisinya mengandung makna yang dalam. Sedalam hati yang tak bisa diukur. “Dalamnya lautan bisa diukur, sementara dalamnya hati siapa tahu”. Kredo bijak semacam ini mengajak para pemburu ilmu untuk terus mempertajam pengetahuan yang begitu urgen. “Ilmu laksana binatang liar,” sebuah metafor yang tidak berlebihan. Karena, dia mau menyatakan, bahwa ilmu adalah hal yang perlu diburu (dituntut), kemudian diikat (dijaga) sekuat mungkin. Artinya, Imam Syafi’ie sebagai sosok yang bersikap sigap dalam menjaga buruannya. Keseriusan Imam Syafi’ie dalam memelihara binatang liar yang suci tersebut tampak pada puisinya; “Ikatlah hewan buruanmu dengan tali kuat”. Memaknai ‘mengikat’ di sini adalah menjaganya dengan mencatat atau menghafal dan atau mengembangkan ilmua yang didapat.

Dalam bait puisinya yang lain: Fa min al-hamâqati an tashîda ghazâlatan # wa tatrukuhâ baina al-khalâiqi thâliqatan (Bodoh sekali jika engkau memburu seekor kijang # lalu dilepas begitu saja tanpa tali pengikat). Puisi ini sangat benderang bagi kita, bahwa Imam Syafi’ie tidak main-main dalam mengembara di pelataran ilmu pengetahuan. Tali idealisme sebagai pengikat buruan menjadi pelita kehidupan. Sikap percaya diri yang disertai tawakal kuat menumbuhsuburkan benih-benih keilmuan yang tersucikan. Oleh sebab itu, Imam Syafi’ie menjadi pelayan ilmu. Dia disayang dan dilayani oleh umat.

Al-ilmu min fadlâtin li man khadamahu # an yaj`ala al-nâsa kullahu khadamahu

Di antara keunggulan ilmu bagi yang melayaninya # akan menjadikan semua orang melayaninya.

Melayani ilmu adalah melayani umat. Membuktikan lebih baik daripada berbasa-basi. “Lebih baik dubur ayam yang mengeluarkan telur daripada mulut intelektual yang hanya menjanjikan telur”, demikian tegas D. Zawawi Imron penyair Madura dalam mengutamakan substansi daripada kulit luar. Jiwa layan Imam Syafi’ie pada ilmu banyak menelurkan berbagai konsep ilmu pengetahuan. Contoh, Diwanu al-Syafi’ie, al-Um, al-Za’faran, Ilmu Ushulu al-Fiqh, dan karya-karya lain yang menjadi tongkat kehidupan umat. Ilmu pengetahuan adalah masa depan kehidupan. Ilmu dan hidup akan terus menjadi pohon kebanggaan bila tertancap dengan akar kelimuan yang benar. Maka, menjaga ilmu dan mengamalkannya adalah keberhasilan ilmu itu sendiri.

Fawâjibun shaunuhu alaihi kamâ # yashûnu fi al-nâsi ghardlahu wadamahu

Ilmu wajib dipelihara sebagaimana # manusia menjaga darah dan kehoramatan dirinya

Luar biasa, Imam Syafi’ie menjadikan ilmu setara dengan kehoramatan diri. Siapa yang tidak mau menjaga diri, maka bersiapsedialah kehormatannya terkulai. Hanya orang gilalah yang tidak peduli kehoramatan jiwanya. Imam Syafi’ie sebagai sosok yang super power dalam berjuang merangkul ilmu.

Akhî lan tanâla al-ilma illâ bisittatin # saunbîka an tafshîlihâ bibayânin

Saudara, engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam syarat # akan kujelaskan rinciannya dengan amat singkat.

Dzakaun wa hirshun wa ijtihâdun wa bulghatun # wa shuhbatu ustâdzin wa thûlu zamânin

Cerdas, semangat, sabar, cukup biaya # bimbingan guru, dan waktu yang lama.

Puisi-puisi Imam Syafi’ie menyerupai mercusuar yang memancarkan cahaya terang di malam hari. Ini terlihat sekali pada substansi puisinya. Cahaya (ilmu) dipadu degnan cahaya (jiwa) melahirkan output brilian bagi penggila ilmu. Siapa yang meragukan kecerdasannya? Tidak ada. Sebagaimana dalam maqalah; Seandainya Imam Syafi’ie mengatakan: “Langit dijunjung oleh tiang”, maka ia bisa menjelaskan secara rasional (ilmiah) dan pasti diterima. Hebat!

Spirit menempuh lorong ilmu pengetahuan yang membara dalam dada Imam Syafi’ie selalu berkobar. Dia tidak pernah menggunakan waktu kecuali untuk kemanfaatan. Sabar pada berbagai tantangan. Di antaranya, sabar tidak bermaksiat. Cerita, Imam Syafi’ie pernah mengalami penurunan ingatan. Hal ini diajukan pada gurunya yang bernama Imam Malik (penulis kitab al-Muwaththa’). Imam syafi’ie diminta untuk mengingat kejadian dalam sehari itu. Ternyata lantaran betis perempuan tersingkap kemudian terlihat oleh Imam Syafi’ie tanpa sengaja. Kemudian ia diminta untuk beristighfar. Maksiat yang tak disengaja sudah demikian berat efeknya, apalagi yang disengaja. Ini menunjukkan, bahwa Imam Sya’fie sabar tidak bermasiat.

Cukup biaya tidak harus di awal perjuangan dalam meniti jembatan ilmu pengetahuan melainkan sambil berusaha di tengah perjungan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan izin-Nya pasti terpenuhi, karena orang belajar adalah dalam tanggungan-Nya. Jelas. Semunya butuh biaya tapi biaya bukan segalanya. Waktu yang panjang di sini menunjukkan, bahwa menangkap buruan yang berupa ilmu membutuhkan waktu dan proses yang harus diseriusi demi mewujudkan pencapaian tonggak ilmu yang mumpuni.

Masih banyak puisi Imam Syafi’ie yang bisa kita jadikan taman pengejenwantahan dirinya dalam miniatur thalabu al-ilmi. Sehingga, kita bisa lebih gamblang memasuki gerbang taman puisi hakiki. Inilah di antara gubahan-gubahan puisinya yang menjadi cambuk motivasi sepanjang masa bagi penggila ilmu. “Teguh pada prinsip dan setia pada proses”, demikian pesan tajam Tan Malaka.

Penulis adalah guru MA Mafaza sekaligus direktur Lisafa (Lingkar Studi Akidah Filsafat dan Budaya) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *