Geliat Asmara di Jantung Pesantren

Oleh Nur Laila

Suara detak jarum jam terdengar dengan keras, memecah keheninganku waktu itu. Rutinitas setiap hari yang aku jalani di pondok seperti biasanya, suara itu membuatku teringat akan sebuah kisah masa laluku yang lewat di dalam pikiranku.

Waktu itu, aku masih pertama kali masuk Sekolah Menengah Atas. Aku berjalan dari rumah menuju sekolah baruku. Seperti anak belasan tahun pada umummnya yang pertama masuk sekolah baru, rasa semangat yang mengembara dan sifat malu-malu yang ada pada diriku. Mataku tertuju ke segala penjuru sekolah baruku. Kulihat secara detail sudut-sudut sekolahku. Waktu untuk perkenalan sebagai siswa baru pun tiba. Bisa dibilang waktu itu aku agak pemalu, wajar namanya murid baru. Kurasa di hadapanku kulihat wajah-wajah asing yang tampak garang.

Memulai belajar di tingkat yang lebih tinggi pasti akan menambah kesibukan di dalam hidupku setiap harinya. Bertemu dengan teman-teman yang lebih banyak, guru-guru yang lebih banyak pula. Suasana seperti itu pasti akan menciptakan sesuatu hal yang berbeda dari sebelumnya di waktu belajar. Tahap adaptasi akan selalu ada di setiap awal mula seseorang menempati tempat atau suatu hal yang baru di dalam hidupnya. Aku pun juga harus beradaptasi dengan semuanya, karena semua itu merupakan hal yang asing bagiku. Namun, lama kelamaan aku pun bisa beradaptasi dengan semua keasingan itu.

Selama aku belajar di kelas X, itu adalah masa di mana aku merasa jika aku harus mendapatkan ilmu yang sebanyak-banyaknya. Semua materi harus kukuasai. Begitu juga rasa semangat 45 yang berkobar di dalam diriku untuk mengusai materi-materi pelajaran. Akan tetapi hal yang berbeda kurasakan jika mengenai ‘friendship’ aku tidak terlalu memperhatikan. Bagiku teman ya sekadar teman biasa tidak ada yang spesial bagiku waktu itu. Masa kelas VII kuhabiskan dengan materi-materi pelajaran yang tak ingin kutinggalkan. Dulu jika ada tugas kelompok yang mengharuskan kerjanya itu di rumah teman pasti aku akan mencari alasan untuk tidak mendatangi pertemuan tersebut, aku lebih suka tugas-tugas individu (pribadi). Mengingat semua hal itu membuatku tertawa jika ingat diriku yang dulu sangat tertutup.

Meskipun dulu aku agak tertutup dalam pergaulan, aku tak pernah membeda-bedakan teman. Aku main dengan semuanya. Lalu, aku naik ke kelas XI. Waktu itu ada murid baru yang masuk di kelasku, Tyo namanya. Seorang anak yang berkulit sawo matang, manis senyumnya dan tinggi perawakannya. Baru menjadi murid selama beberapa hari saja sudah dapat menarik banyak perhatian, apalagi perhatian kakak kelas. Dia sosok orang yang baik dan ramah. Awalnya aku biasa saja dengannya, tapi semua berubah semenjak pertama kali dia menghubungiku lewat ‘SMS’ di suatu malam.

“Hai Loli …” katanya lewat pesan itu.

“Siapa???” jawabku singkat.

Dia menjawab “Tyo , your friend J”

Percakapan itu berlanjut dan berlangsung cukup lama. Dalam hatiku bertanya kenapa dia menguhubungiku? Apa dia menginginkan sesuatu? Apa yang dia inginkan? Banyak hal yang kupikirkan waktu itu. Seiring berjalannya waktu Tyo dan aku semakin dekat, hubunganku dengannya semakin akrab. Meski dia dekat denganku tidak memungkiri kenyataan dia juga dekat dengan banyak sekali cewek, apalagi para kakak kelas. Maka dari itu, aku memutuskan untuk menjauh darinya. Hubungan kami pun mulai jauh dan sangat jarang berkomunikasi. Jika tidak dikarenakan hal yang penting aku hampir tak berbicara dengannya.

Menginjak kelas XII awal dia menghubungiku lagi, melalui media yang sama.

“Mbak Loli…”, isi pesan yang kubaca dari handphoneku.

“Siapa?”, jawabku seperti biasa.

“Mas Tyo…”, balasnya.

Semenjak saat itu hubungan kami mulai membaik kembali dan semakin dekat dari sebelumnya. Dekat dan lebih dekat lagi, hubungan kami menjadi sangat akrab.

Foto: tobapos.com

Selain dengan Tyo aku juga memiliki 3 teman lagi yaitu Wati, Ulfa, dan Nafa. Wati seorang cewek yang cukup pandai tapi sifatnya seperti anak kecil. Ulfa dia pandai menyanyi, kadang aku dan dia berduet di kelas bernyanyi-nyanyi seperti orang gila. Nafa seorang teman yang loyal. Dan kami berempat menjuluki hubungan kami sebagai ‘F4‘ yaitu singkatan dari fantastic four karena rasanya bisa bersama-sama dengan mereka adalah suatu hal yang sangat fantastik.

Dan Tyo juga memiliki sahabat lain di antaranya Arka, Abdul, Widy, dan Hamdi. Arka adalah cowok kekinian yang pandai tentang teknologi. Abdul dia cowok yang bertanggung jawab. Widy seorang cowok pemalu dan pendiam. Dan yang terakhir Hamdi seorang gamer yang akan sangat asyik dengan dunia game-nya jika sudah memainkan game-game andalannya. Meraka menamai hubungan mereka dengan nama ’STC’ yang kependekan dari Sevenfold Team Crew, yaitu nama fans untuk para penggemar band rock Avenged Sevenfold.

Kami semua menjadi satu dan nama kami digabungkan menjadi ‘STCF4’ banyak orang-orang yang tidak suka dengan kedekatan kami. Entah karena apa mereka seperti itu dengan hubungan kami. Padahal kami hanya bersahabat, apa salah menjalin sebuah persahabatan? Kami F4 sering disindir oleh teman cewek di kelas yang centil, sok cantik apalah itu terserah apa kata mereka kami hanya bisa diam dan bersabar karena STC selalu menyemangati kami. Itulah gunanya persahabatan selalu mendukung sahabat yang lain jika sedang ada masalah. Hidup STCF4 !!!

Waktu berlalu begitu cepat, hari demi hari kulalui bersama mereka. Mulai dari belajar kelompok, main, makan, dan sampai kami pun pernah mendaki gunung bersama. Kami kalo main ke wisata-wisata alam yang masih asri. Di tempat-tempat seperti itu kami dapat me-refresh pikiran kami menjadi segar kembali. Aku merasa sangat nyaman sekali bersama mereka.

Suatu pagi aku mengirim catatan suara pada Tyo melalui DM/Direct Message (pesan melalui aplikasi instagram). Aku kaget terhadap respon yang ia berikan. Di pesan itu isinya aku sedang menyanyikan sebuah lagu yang berasal dari Jepang yang berjudul ‘Kiroro Mirae’. Responnya terhadap pesan itu, dia seperti heran kenapa aku mengirim pesan itu dan sepertinya dia ingin mengetahui apa alasanku mengirim pesan itu.

“Gimana suaranya bagus nggak?”, tanyaku pinta pendapatnya.

“Bagus.. suara kamu kok jadi kaya lebih tinggi gitu ya?”, pujinya.

“Ah, bisa aja nggaklah”, jawabku malu.

Sebetulnya aku tidak memiliki alasan apapun untuk mengirim pesan itu. Waktu itu sebenarnya aku sedang bosan saja jadi aku iseng kirim-kirim pesan. Bahasa-bahasa yang ia gunakan pada chat waktu itu berbeda dengan biasanya, bahasanya menjadi lebih halus dan seperti ada pujian-pujian di antara kata-kata darinya.

Selang satu minggu sejak saat itu, ia mengechatku lagi dan mengajakku bertemu di suatu tempat. Awalnya aku menolak pertemuan itu karena ia meminta hanya bertemu berdua saja. Lalu dia memberi saran untuk mengajak salah satu temanku saja, lalu aku mengajak Ulfa untuk mendatangi pertemuan itu.

Di sana ia menyatakan jika memiliki perasaan denganku. Dia menunggu jawaban dariku apakah aku menerimanya atau tidak. Aku menjawabnya “Kita tidak bisa menjalani hubungan seperti itu karena, kita adalah sahabat dan selama akan menjadi sahabat, aku nggak mau kehilanganmu hanya karena hal-hal seperti asmara seperti itu.” Dia membalas jawaban dariku dengan senyuman yang paling manis. Aku tahu sebenarnya hatinya sangat terluka tapi apa boleh buat kita memang ditakdirkan untuk menjadi sebuah sahabat. “Jodoh nggak akan kemana-mana, jika kita memamg berjodoh pasti kita akan disatukan dalam sebuah ikatan yang suci, yaitu pernikahan kelak. Untuk sekarang cukup dengan hubungan persahabatan ini saja, sahabat sekarang dan selamanya” jelasku. Dia pun membalasnya dengan senyuman yang manis kembali.

Tak kurasa semua berlalu begitu cepat waktu 3 tahun yang kutempuh di SMA akan segera usai. Masa-masa di mana aku bisa bercanda tawa dengan sahabat-sahabatku. Masa di mana kenakalan dalam kelas. Semua teman-teman akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi, yaitu universitas. Semua masuk ke kampus pasti akan mencari asrama dikarenakan rumah yang jauh dari kampus. Jika mereka mencari asrama (kost) aku mencari pondok pesantren untuk jenjang universitas.

Aku mondok di pondok pesantren Mafaza disambi kuliah di Universitas Islam Negeri di kotaku. Ternyata, kehidupan di pondok dan waktu aku di rumah bersama ayah dan ibu sangat berbeda. Di pesantren aku merasa menjadi manusia yang lebih memiliki rasa tanggung jawab dan kedisiplinan dalam diriku sendiri.

Di waktu aku mengaji tidak selalu mulus seperti yang diharapkan. Ustadzah yang mengajari kadang memarahiku karena aku selalu salah dalam melafalkan makhroj huruf hijaiyah, tapi itu tidak membuatku patah semangat. Aku selalu berlatih untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Aku mempelajari banyak ilmu-ilmu agama yang dapat menambah keimananku kepada Sang Pencipta. Aku juga memikirkan tentang materi kuliahku. Kini diriku bukan diriku yang dulu lagi yang terkesan memikirkan tentang hal-hal duniawi, kini dalam setiap tindakan dan perbuatanku harus kupikirkan apakah membawa manfaat atau mudlarat ke depannya dan apakah tindakan itu diridai oleh Allah SWT. Meski di dalam menuntut ilmu tidak semudah yang dibayangkan aku selalu berpikir positif bahwa semua akan indah pada waktunya. Aku teringat aka isi sebuah pengajian yaitu Allah akan memberikan balasan bagi seseorang sesuai apa yang ia usahakan, Man Jadda Wa Jada.

“Ukhti..ukhti..” suara itu memecah lamunanku, aku dengan spontan menengok ke belakang. Ternyata temanku memanngilku dan mengatakan bahwa ada orang yang ingin menemuiku.

“Di mana orangnya, ukhti?”

“Di kan..kan..di kantor depan, ukhti”, jawabnya dengan terengah-engah.

Aku pun berjalan menuju kantor depan dan menemui orang yang datang ingin bertemu denganku. Ternyata orang itu adalah Tyo.

 

*) Penulis adalah pegiat literasi dan santri MA. Mafaza Bantul

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *